Sejarah Desa

 

 

 

Terbentuknya Desa

 

 

Desa/Pemerintah Desa

 

Perihal terbentuknya Desa hingga sekarang sulit diketahui secara pasti kapan awalnya, akan tetapi mengacu pada prasasti Kawali di Jawa Barat sekitar tahun 1350 M, dan prasasti Walandit di daerah Tengger Jawa Timur pada tahun 1381 M, maka Desa sebagai unit terendah dalam struktur pemerintahan Indonesia telah ada sejak dahulu kala dan murni Indonesia, bukan karena dibentuk oleh Belanda.

 

 

Terbentuknya Desa diawali dengan terbentuknya kelompok masyarakat akibat sifat manusia sebagai makhluk sosial, dorongan kodrat, atau sekeliling manusia, kepentingan yang sama dan bahaya dari luar.

Istilah Desa sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya tanah tumpah darah, dan sebutan Desa itu sendiri, hanya dipakai di daerah Jawa dan Madura, sedang daerah lain pada saat itu (sebelum masuknya Belanda) namanya berbeda seperti gampong dan meunasah di Aceh, huta di Batak, nagari di Sumatera Barat dan sebagainya.

 

 

Pada hakikatnya bentuk Desa dapat dibedakan menjadi dua yaitu desa geneologis dan desa teritorial.

Sekalipun bervariasi nama Desa ataupun daerah hukum yang setingkat Desa di Indonesia, akan tetapi asas atau landasan hukumnya hampir sama yaitu adat, kebiasaan dan hukum adat.

Pemerintah Desa pada zaman Kerajaan Mataram Islam, disinyalir sudah ada. Hal ini bisa dilihat ketika masa kejayaan Mataram Islam. Dan Masa kejayaan Kerajaan Mataram terjadi saat Sultan Agung memimpin kerajaan ini pada 1613 M hingga 1645

M. Daerah kekuasaannya pun meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah dan sebagian daerah Jawa Barat.

Dalam menjalankan sistem pemerintahannya, Kerajaan Mataram memiliki struktur birokrasi pemerintahannya sendiri. Ini bisa kita pelajari dari Struktur Birokrasi Pemerintahan Kerajaan Mataram. Penjelasan singkat tentang struktur birokrasi pemerintahan Kerajaan Mataram:

  • Raja atau Sultan atau Susuhunan merupakan pemimpin tertinggi dalam Kerajaan Mataram.
  • Agar bisa menjalankan tugasnya dengan baik, seorang Sultan akan menujuk beberapa pejabatan internal dalam Keraton.
  • Pejabat internal tersebut diantaranya Patih Kerajaan, Wedana, Keluarga kerajaan, Abdi dalem, Prajurit dan lain sebagainya.
  • Raja atau Sultan bisa membawahi secara langsung Bupati atau Pemimpin Desanya. Namun, juga bisa diwakilkan oleh orang kepercayaan atau pejabat internal dalam kerajaan tersebut.

 

  • Bupati membawahi Wedana atau Demang. Tugasnya hampir serupa yakni untuk membantu tugas Bupati. Namun, bupati juga bisa dibantu oleh seorang Kaliwon yang merupakan pemimpin pedesaan tetapi jabatannya berada di bawah Bupati.
  • Penewu atau penatus biasanya menerima perintah langsung dari seorang Kaliwon atau Wedana atau Demang. Perintah ini kemudian akan disampaikan kepada bawahannya.
  • Lurah Desa juga diartikan sebagai Pemimpin Desa atau Kepala. Tugasnya juga memimpin Desa di tempatnya tinggal.

Adapun birokrasi yang dikembangkan oleh Kerajaan Mataram Islam memiliki pola yang mengarah ke pola birokrasi Kerajaan Majapahit yang berpusat pada raja sebagai dewa-raja. Birokrasi ini masih bersifat tradisional, yaitu birokrasi yang merupakan pengembangan rumah tangga raja untuk menyatukan daerah-daerah dengan ikatan tali kekeluargaan, religio-magis, sistem upeti/pajak, dan kekuatan militer pusat sebagai stabilisator (Suwarno, 1989, p. 18-19). Struktur birokrasi tersebut diatur berdasarkan konsep perwilayahan negara dengan pusat kraton dan berkembang meluas.

 

 

Desa/Pemerintahan Desa Pada Masa Penjajahan Belanda

Jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia, desa dan yang sejenis dengan itu telah ada mapan di Indonesia. Mekanisme penyelenggaraan pemerintahannya dilaksanakan berdasarkan hukum adat.

 

 

Setelah pemerintah Belanda memasuki Indonesia

Untuk mengontrol Desa, pemerintah   kolonial   menerbitkan Indische Staatsregeling tahun 1848 dan Regerings Reglement (RR) tahun 1854. Inti kedua peraturan itu sama. Kendati Desa berhak memilih Kepala Desa dan mengatur rumah tangga sendiri, ia mesti mendapat persetujuan penguasa dan memperhatikan peraturan-peraturan di atasnya.

RR tahun 1854, cikal-bakal pengaturan tentang daerah dan desa, menjadi dasar terbitnya Inlandsche Gemeentee Ordonantie (IGO) pada 1906 yang diberlakukan di desa-desa Jawa dan Madura. Disusul kemudian Inlandsche Gemeente Ordonantie voor de Buitenge Westen (IGOB) tahun 1938 untuk luar Jawa.

Meski dalam pelaksanaan peraturan tersebut banyak kritik, terutama menyangkut pemaksaan tatapraja dan pengabaian sifat asli desa-desa di Hindia, toh pemerintah belanda bergeming.

“Pemerintahan Hindia Belanda dapat mengawasi serta memanfaatkan desa-desa itu untuk keperluan pemerintahan yang lebih luas,” tulis sosiolog Selo Sumardjan dalam “Otonomi Desa: Apakah Itu?”, dimuat Majalah Jurnal.

 

Ada tiga unsur penting dari Desa menurut IGO yang penting, yaitu Kepala Desa, Pamong Desa dan Rapat Desa. Kepala Desa sebagai penguasa tunggal dalam Pemerintahan Desa, ia adalah penyelenggara urusan rumah tangga desa dan urusan- urusan pemerintah, dalam pelaksanaan tugasnya harus memperhatikan Pendapat Desa. Di dalam pelaksanaan tugasnya Kepala Desa dibantu oleh Pamong Desa yang sebutannya berbeda-beda daerah satu dengan yang lainnya. Untuk hal-hal yang penting kepala desa harus tunduk pada Rapat Desa.

 

 

Sejarah desa/pemerintah Desa Jamus.

Asal usul nama Desa Jamus sampai saat ini belum ada peneliti atau ilmuwan yang mengadakan penelitian di Desa Jamus untuk mengetahui secara pasti berkenaan dengan diberikannya nama Desa Jamus yang berada di wilayah Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak tersebut. Namun ada beberapa versi yang menerangkan asal muasal nama Desa Jamus yang bersumber dari orang-orang yang tergolong paling tua usianya di Desa tersebut, itu pun hanya lewat cerita turun temurun dari orang-orang terdahulu.

Diantara versi-versi tersebut adalah sebagai berikut:

Masyarakat Jamus yang dahulu terkenal dengan masyarakat petani yang pekerjaannya bercocok tanam dan pada masa itu belum ada alat mengolah sawah yang modern dan hampir semua petani Jamus dalam mengolah sawah menggunakan cara manual, seperti halnya dalam mengolah sawah para petani menggunakan bantuan tenaga hewan (kerbau) dan kebetulan kerbau juga dijadikan usaha sampingan untuk peternakan.

Di Desa Jamus hampir semua warga mempunyai kerbau baik untuk mengolah tanah maupun untuk hewan ternak. Sehingga konon cerita para orang tua terdahulu, setiap ada orang luar desa menyebut kampung kebo (kampung Kerbau). dan konon diceritakan ada salah satu kyai yg lewat desa tersebut menyebut dengan bahasa arab "Jamus" yang artinya Kerbau.

Sebutan nama ini sebagian masih dipercayai masyarakat, dikarenakan banyak infrastruktur Desa Jamus (jalan-jalan yang saat ini digunakan sebagai sarana penunjang ekonomi masyarakat) bekas lorong kebo/tanah yang dilewati kerbau- kerbau ketika untuk membajak sawah pada waktu itu.

Dan konon cerita para orang tua pada zaman dahulu diceritakan versi kedua asal usul Desa Jamus adalah tempat keramat. Hal ini bisa dilihat dari kata Jamus yang bermula dari kata Jamas, dan ini berawal dari kata njamas (nyuci pusaka). Jika dilihat dari nama kampung-kampung yang ada di Desa Jamus memang ada hubungannya dengan hal tersebut (njamas). jamus terdiri dari:

  1. Kampung Sayangan, jika menilik perkampungan yang ada dipusat kota mataram islam pada waktu itu, Sayangan berarti tempat para pembuat senjata dari tembaga.
  2. Kampung Grejen, grejen /grajen adalah istilahnya tai besi atau sisa-sisa (abu) dari tembaga yang dibuat senjata/kerajinan.

 

  1. Kampung Godo, godo adalah senjata perang yang ada bendolan ujungnya terbuat dari tembaga.
  2. Kampung Krajan, bisa bermula dari kata kerajaan.
  3. Kampung karang sambung, bisa jadi ini bermula dari tempat berkumpulnya orang-orang yang merangkai/menyambungkan dari nama-nama sebutan kampung tersebut menjadi 1 desa, dalam arti tempat/pekarangan untuk merangkai senjata yang telah diproduksi.

Terlepas mana yang benar sampai detik ini belum ada yang paling jelas.

Seiring dengan zaman penjajahan belanda, orang belanda yang sering lewat kampung-kampung ini selalu bertanya "tempat apa ini" dan dijawab para pribumi pada waktu itu "njamas", karena lidah orang belanda tidak bisa bilang njamas maka dia mengatakan "ow njames", dan masyarakat desa pun dengan latah dan mudah mengatakan "njamus".

 

 

Beriringnya peraturan pemerintah belanda memberlakukan peraturan tentang desa/pemerintah desa IGO untuk jawa dan madura, serta IGOB untuk luar jawa, didesa jamus pun sudah ada pemerintah Desa Jamus, yang itu bisa kita telisik antara lain :

  1. Informasi kurang lebih kades yang bisa teridentifikasi ada simbah SUKARSAN yang menjabat kades sampai tahun 1938/1939 (Peraturan belanda IGO) sebelum penjajah jepang datang di Indonesia.
  2. Simbah Jamil menjabat mulai 1939/1940 s/d 1969 (mengacu peraturan IGO, Osamu Saire no 7 1944, UUD 1945, UU 22 tahun 1948, UU no 1 tahun 1957, UU 18 tahun 1965 dan UU no 19 th 1965 tentang Desa Praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya daerah tingkat 111 diseluruh Wilayah RI).
  3. Mbah Zubaidi kurang lebih mulai 1973 s/d 1989 (UU no 5 tahun 1974, UU no 5 tahun 1979).
  4. Mbah Djumadi 1989 s/d 2008 (UU no 5 tahun 1979, UU no 22 tahun 1999, UU no 32 tahun 2004)
  5. Mbah Zaed tahun 2008 s/d 2014 (UU no 32 tahun 2004)
  6. Mbah Djumadi tahun 2016 s/d 2022 (UU no 6 tahun 2014)
  7. Mbah Muh. Rifai tahun 2022 s/d sekarang.

Ini sekelumit perjalanan Desa/Pemerintahan Desa Jamus.

 

Pasang surut dalam pengaturan Desa/Pemerintah Desa

Setelah Indonesia merdeka, Undang-undang ini banyak diubah.

 

 

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Indonesia di samping mempunyai tujuan umum hakikatnya juga mempunyai tujuan khusus yakni tujuan yang dikaitkan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Desa menurut undang-undang yang mengaturnya, yang umumnya ada misi dan visi tertentu dengan dikeluarkannya undang-undang Pemerintah Desa pada masing-masing periode tertentu

Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.

Kedudukan Pemerintah Desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sehingga desa memiliki kewenangan, tugas dan kewajiban untuk mengatur serta mengurus kepentingan masyarakatnya.

Tugas pokok Pemerintah Desa adalah melaksanakan urusan rumah tangga desa, urusan pemerintahan umum, pembangunan dan pembinaan masyarakat serta menjalankan tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan atau Pemerintah Kabupaten.

Otonomi Desa pada hakikatnya ada persamaan dan perbedaan dengan otonomi daerah. Persamaannya adalah dalam hal penyelenggaraannya yang dibatasi oleh UU yang berlaku. Adapun perbedaan antara Otonomi Desa dan Otonomi Daerah adalah dalam hal asal usul kedua otonomi tersebut. Otonomi Desa adalah otonomi asli yang ada sejak desa itu terbentuk (tumbuh di dalam masyarakat) dan bersumber dari hukum adat yang mencakup kehidupan lahir dan batin penduduk desa. Otonomi Desa bukan berasal dari pemberian pemerintah dan bukan sebagai akibat dari pelaksanaan asas desentralisasi tetapi diperoleh secara tradisional. Sedangkan Otonomi Daerah adalah pemberian dari pemerintah dan sebagai akibat dari pelaksanaan asas desentralisasi (sebagai pendistribusian kewenangan dari pemerintah di atasnya). Otonomi daerah diperoleh secara formal dan pelaksanaannya diatur dengan peraturan perundang-undangan.

 

 

Organisasi Pemerintahan Desa atau Yang Disebut Dengan Nama Lain

Susunan organisasi pemerintahan desa atau yang disebut dengan nama lain terdiri dari: Kepala Desa sebagai unsur pemimpin dan perangkat desa, sebagai unsur pembantu pimpinan. Perangkat desa dapat terdiri dari Sekretariat Desa, unsur pelaksana dan unsur wilayah.

Kepala Desa berkedudukan sebagai alat pemerintah desa yang memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Sekretariat Desa berkedudukan sebagai unsur

 

pelayanan yang bertugas membantu Kepala Desa dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintah desa. Sekretariat desa dipimpin oleh seorang Sekretaris Desa. Unsur pelayanan dapat terdiri dari beberapa urusan tergantung pada kebutuhan desa yang bersangkutan. Beberapa urusan yang dimaksud antara lain: urusan pemerintahan, pembangunan, perekonomian, kesejahteraan rakyat, keuangan dan umum. Masing-masing urusan tersebut bertugas membantu sekretaris desa sesuai dengan tugasnya masing-masing.

Unsur pelaksana adalah unsur pembantu kepala desa yang melaksanakan urusan teknis di lapangan seperti: pamong tani desa, urusan pengairan, urusan keamanan, urusan keagamaan, kebersihan, kesehatan dan pungutan desa. Unsur pelaksana mempunyai tugas memimpin dan melaksanakan kegiatan teknis lapangan dalam bidang tugasnya.

Unsur wilayah yaitu unsur pembantu kepala desa di wilayah bagian desa yang disebut kepala dusun. Tugas Kepala Dusun adalah membantu melaksanakan tugas-tugas operasional kepala desa di dalam wilayah kerjanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Urusan, Unsur Pelaksana dan Unsur Wilayah wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi, baik di lingkungan masing-masing maupun antar satuan organisasi desa sesuai dengan tugasnya masing-masing.

Badan Perwakilan Desa (BPD) adalah badan perwakilan yang merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila dan berkedudukan sejajar serta menjadi mitra dari Pemerintah Desa. BPD berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa.

Lembaga kemasyarakatan adalah lembaga-lembaga yang dibentuk atas prakarsa masyarakat desa yang merupakan mitra Pemerintah Desa.

Lembaga adat adalah lembaga yang berkedudukan sebagai wadah organisasi permusyawaratan/permufakatan kepala adat/tetua adat dan pemimpin/pemuka adat lainnya yang berada di luar susunan organisasi pemerintah di kabupaten. Tugas lembaga adat adalah memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat dan lembaga adat yang ada didesa.

 

 

Di dalam menangani kewenangan yang dimiliki

Oleh desa berdasarkan asal-usulnya serta tugas pembantuan yang dibebankan kepada desa, maka pemerintah desa dapat melakukan kerja sama antar desa. Kerja sama antar desa dapat dilakukan oleh dua desa atau lebih dalam rangka mengelola kepentingan bersama dengan prinsip saling menguntungkan. Kerja sama antardesa pada hakikatnya dapat berperan sebagai salah satu faktor penunjang terhadap kelancaran pembangunan pada desa-desa yang terlibat dalam kerja sama.

 

Dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desa, dapat saja terjadi perselisihan antara suatu desa dengan desa lainnya. Pada dasarnya perselisihan dapat diupayakan penyelesaiannya dengan prinsip yang saling menguntungkan, diputuskan oleh pejabat yang berwenang serta keputusan itu bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berselisih. Sementara itu pemerintah, pemerintah propinsi atau pemerintah kabupaten dapat bertindak sebagai fasilitator dalam upaya penyelesaian perselisihan antardesa

 

 

Sistem Pemerintahan Desa Adat

Pembahasan Sistem Pemerintahan Desa Adat lebih mengacu kepada sistem Pemerintahan Desa dengan prinsip-prinsip tradisional. Objek areanya adalah tata pemerintahan yang berlaku di desa-desa di Indonesia dengan hukum yang dipakai yaitu hukum adat. Hukum adat dapat dikatakan hukum yang demokratis karena lahir dari masyarakat sendiri, dibuat menurut keadaan, kebutuhan, keharusan hidup, dan penghidupan masyarakat sendiri.

Sebagai suatu sistem pemerintahan, sistem pemerintahan desa adat di Indonesia mampu mempertahankan hukum atau aturan-aturan yang berlaku sekalipun tidak tertulis. Hukum tersebut mengatur cara hidup, cara bermasyarakat, dan cara bernegara segenap rakyat di daerah-daerah.

Kekuasaan pemerintahan adat tidak saja berisi pemerintahan dalam arti kata sempit (bestuur), akan tetapi juga berisikan pemerintahan dalam arti kata luas (regeling), karena desa berkuasa atas pengadilan, perundang-undangan, kepolisian bahkan pertanahan.

Perundang-undangan tentang desa adat dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda, di mana tercatat di dalam pasal 118 jo pasal 128 I.S., bahwa penduduk asli dibiarkan di bawah pimpinan langsung dari kepala-kepalanya sendiri. Kemudian ditetapkan dalam IGOB L.N. 1938 No. 490. Pasal 18 UUD 1945 dalam penjelasannya dalam angka II, kemudian UU No. 19 tahun 1965, UU No. 5 tahun 1979 dan terakhir UU No. 22 tahun 1999. Di dalam UUD 1945 pasal 18 secara jelas termaktub bahwa landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.

Secara umum tata pemerintahan Desa Adat di seluruh wilayah Indonesia mengenal dua macam bentuk, yaitu pertama pimpinan pemerintahan diletakkan di tangan seorang kepala, dan kedua pimpinan pemerintahan dipegang oleh sebuah Dewan. Kedudukan jabatan pemerintahan Desa Adat merupakan kedudukan kehormatan. Syarat untuk menduduki jabatan biasanya berdasarkan turun temurun dan berpengaruh tidaknya suatu individu dalam masyarakat.

 

 

                                                                                                                                          TIM PENYUSUN